Politik

Guru Besar IPB: Eropa Diskriminasi Sawit itu Karena Ada Kepentingan Bisnis 

PEKANBARU-Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA mengatakan, pelarangan dan diskriminasi sawit Indonesia dan Malaysia oleh Eropa karena ada kepentingan bisnis dari produk sejenis, dalam hak ini minyak nabati lain. 

"Saya sudah berkeliling di Eropa, bertemu dengan masyarakat Eropa mulai dari Brussel, Berlin, Francis, Belgium, mereka sama sekali tidak pernah mempersoalkan produk sawit. Saya juga bertatap muka dengan pendidik disana, dan lagi-lagi tidak ada penolakan terhadap produk sawit. Ini perang dagang, yang dimainkan para politisi Uni Eropa, semua tak lebih dari kepentingan bisnis lain dari minyak nabati lain," ujar Prof Yanto kepada SawitPlus.co beberapa waktu lalu. 

Apa yang disampaikan Prof DR Yanto Santosa ini ternyata juga sama dengan hasil penelitian Center of Food, Energy, dan Sustainable Development, di Institute for Development of Economics and Finance ( INDEF) Imaduddin Abdullah. 

Dikatakan Imaduddin, ada motif persaingan industri yang melatarbelakangi langkah Uni Eropa membatasi produk sawit.

Komisi Eropa menetapkan batasan pada produk turunan sawit untuk biofuel, bioliquids, dan biomass fuels yang memiliki risiko indirect land use change (ILUC) atau produk minyak nabati yang meningkatkan emisi gas rumah kaca. Langkah Uni Eropa ini membuat negara produsen sawit curiga adanya kampanye hitam terhadap produk sawit.

"Minyak kelapa sawit merupakan minyak nabati dengan produktivitas tertinggi dibandingkan dengan minyak kedelai (soya oil), minyak lobak (rapeseed oil), dan minyak bunga matahari (sunflower oil)," kata Imaduddin dalam seminar online INDEF pada Minggu, 30 Maret 2019 lalu.

Lantaran produktivitas sawit lebih tinggi, Uni Eropa diduga menganggapnya sebagai ancaman atas eksistensi dari bisnis minyak nabati lain seperti minyak biji bunga matahari yang banyak diproduksi negara-negara Eropa.

"Dalam perspektif ekonomi politik, berbagai kampanye negatif terhadap sawit dianggap sebagai bagian dari perjuangan untuk mendapatkan kue ekonomi dari demand terhadap minyak nabati yang semakin tinggi," jelas Imaduddin.

Dalam paparannya, seperti dikutip dari tirto.id, dia mengungkapkan, produktivitas lahan kelapa sawit melebihi 4 ton/Ha sedangkan produk minyak nabati lainnya seperti kedelai hanya 0,37 ton/Ha, bunga matahari hanya 0,5 ton/Ha, dan rapeseed hanya 0,75 ton/Ha.

Selain itu, hilirisasi sawit lebih banyak dibandingkan sumber nabati lainnya. Dengan berbagai keunggulan dari sawit tersebut, ekspansi sawit dan produk turunannya termasuk minyak sawit di pasar global sangat tinggi dan memberikan tekanan terhadap sejumlah komoditas minyak nabati lainnya.

"Pada awal 2000an, minyak sawit hanya menguasai 30,54 persen dari total pasar minyak nabati dunia, tertinggal dari minyak kedelai (soybean) yang menguasai 35,64 persen," beber dia.

Sedangkan minyak nabati dari rapeseed dan bunga matahari hanya berkontribusi sekitar 20,2 persen dan 13,62 persen. Namun pada tahun 2018, kontribusi minyak sawit mencapai 35,25 persen, sedangkan minyak kedelai hanya 28,9 persen.(rdh)

“Komoditas minyak nabati dari bunga matahari menjadi komoditas yang paling mendapatkan tekanan dari ekspansi minyak sawit di mana share-nya terus mengalami penurunan dari 18,14 persen pada 1990 menjadi hanya 8,99 persen,” tandas dia.


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar